Rabu, 19 Oktober 2011

MANUSIA INDONESIA ABAT 21 yang BERKUALITAS


di tinjau dari sudut pandang psikologi

PENGANTAR

Kondisi sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah yang tidak mudah dilakukan. Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga peristiwa yang terjadi di satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh orang-orang yang tinggal di tempat lain. Dunia menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Kejadian di Amerika tidak akan mudah diketahui oleh mereka yang tinggal di belahan bumi lainnya seperti Eropa, Asia, Afrika, dan Australia. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya hidup masyarakat di wilayah tertentu bersifat lokal dan khusus, mengacu pada kebiasaan dan budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai ragam tatanan masyarakat dan gaya hidup.
Keterbatasan komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah tertentu. Peristiwa di Banda Aceh, misalnya, akan lama sekali sampai pemberitaannya di Merauke, Irian Jaya. Namun, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjelang abad 21, jarak tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Menit ini peristiwanya terjadi, menit berikutnya seluruh dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Kemudahan komunikasi inilah yang membawa penghuni dunia ke dalam kehidupan bersama, yang memungkinkan mereka saling berinteraksi, mempengaruhi dan dipengaruhi, juga dalam memilih dan menentukan pandangan serta gaya hidup.
Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga masyarakat dunia dalam satu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka ragam tetapi sekaligus juga terbuka untuk semua warga. Gaya hidup yang menyangkut pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah mengalami perubahan, dengan kepastian mengalirnya pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa. Bentuk-bentuk tradisional bergeser, diganti dengan gaya hidup global. Kesenangan bergaya hidup internasional mulai melanda. Perbincangan mengenai pengembangan hubungan antar negara menjadi mirip pembahasan tentang pengembangan komunikasi antar kota dan desa. Teknologi komunikasi memang memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam berbagai bentuk yakni suara dan gambar yang menyajikan informasi, data, peristiwa dalam waktu sekejap. Secara psikologis kondisi tersebut akan membawa manusia pada perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan, pergeseran prioritas dalam tata nilainya.

KONDISI DAN SITUASI DI ABAD 21

Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam percaturan internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan diri dari proses ini. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal batas. Film, surat kabar, majalah, radio, televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap dan perilaku yang sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label ‘modern’ diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi memungkinkan timbulnya gaya hidup global. Tumbuhnya restoran dengan menu khusus dari mancanegara semakin menjamur, menggeser selera masyarakat yang semula bertumpu pada resep-resep tradisional. Gaya berpakaian dipengaruhi oleh garis-garis mode yang diciptakan oleh perancang kelas dunia. Kosmetika, aksesori, dan pernak-pernik lainnya untuk melengkapi penampilan tidak lepas dari pengaruh era globalisasi, seperti halnya tata busana. Selain mode, dunia hiburan juga tersentuh. Munculnya kafe, kelab malam, rumah bola (bilyard) memberi warna baru dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula kegiatan pasar. Bentuk-bentuk pasar tradisional yang memungkinkan terjadinya keakraban antara penjual dan pembeli, sehingga keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan menghilang dan berganti dengan transaksi ekonomi semata ketika muncul pasar-pasar swalayan.
Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan norma-norma, pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang mewarnai abad 21 telah memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang lebih luas dari sekadar makna mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung mengejar kesempatan untuk bisa memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus tampil sebagai pemenang dalam persaingan untuk memperoleh yang terbaik, tertinggi, terbanyak. Untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru, diperlukan dukungan kemampuan ekonomi yang tinggi. Kebutuhan ini sangat terasa. Tawaran gaya hidup modern yang ditawarkan melalui kaca-kaca ruang pamer toko atau distributor benda-benda yang digandrungi masyarakat telah memacu banyak orang untuk bekerja tak kenal waktu. Orang sibuk mencari uang untuk bisa memiliki gaya hidup seperti yang ditawarkan. Apalagi media massa juga rajin menggelitik masyarakat untuk dapat mengikutinya, antara lain melalui iklan, sinetron, acara-acara hiburan, dan sebagainya. Kemajuan teknologi komunikasi abad ini telah memungkinkan berita dan cerita segera menyebar ke seluruh pelosok, menyapa siapa saja, tak peduli penerima pesannya siap atau tidak.
Wajah keluarga juga berubah. Perkembangan jaman yang merubah gaya hidup masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami istri, pola asuh dan pendidikan anak tidak bisa mempertahankan pola lama sepenuhnya. Pengaruh yang diterima suami istri, juga yang diterima anak dalam proses perkembangannya, tak lagi bisa dipisahkan dari dunia di luar rumah. Melalui perangkat teknologi anak bisa langsung menerima pengaruh dari luar, yang tentu saja akan selalu mempunyai dua sisi, baik dan tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang akan mewarnai kehidupan anak dan orang tua di abad 21. Orang tua tak lagi menjadi pewarna tunggal dalam pengembangan pola sikap dan tingkah laku anak. Ada lingkungan yang lebih luas dan leluasa memasuki kehidupan keluarga dalam menawarkan berbagai bentuk perilaku untuk diamati, dipilih, dan diambil alih anak. ‘Teman’ dan ‘pesaing’ orang tua menjadi bertambah, sebab lingkungan memang tidak hanya terdiri dari dukungan atau penguat pesan-pesan dan nilai yang ditanamkan orang tua, tetapi juga menjadi penghambat dan pengganggu penerimaan pesan dan nilai tersebut.
Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga dan pendidik anak. Seiring dengan pemunculan ibu dalam kegiatan di luar rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya), kehadiran ibu yang tidak lagi 24 jam di rumah menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diharapkan dari pola asuhan dan pendidikan dalam situasi seperti itu. Apa jadinya setelah ibu juga sibuk di luar, padahal ibu dikenal selaku pendidik pertama dan utama? Bisakah anak tetap diharapkan mampu berkembang optimal tanpa kehadiran ibu? Kalau ibu tidak ada, siapa yang layak ditunjuk dan diserahi tanggung jawab sebagai pengganti? Pertanyaan ini menjadi terasa lebih bermakna karena ayah tak juga menjadi surut dari kegiatannya di luar rumah, bahkan cenderung meningkat seiring dengan tuntutan kehidupan abad 21. Nah, kalau ayah dan ibu sama-sama tidak bisa hadir penuh, lalu siapa yang harus menjadi pengganti mereka berdua? Padahal, kehadiran itu sangat diperlukan anak, tak peduli berapapun umurnya, sebab proses pendidikan berlangsung selama masa perkembangannya, sejak kanak-kanak sampai dewasa. Jadi, bukan hanya balita (anak berumur di bawah lima tahun) yang memerlukan kehadiran bapak dan ibu, tetapi juga anak pada tahapan perkembangan selanjutnya, yakni mereka yang berada dalam tahap perkembangan kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa.
Mencari pengganti ibu tampaknya merupakan masalah yang akan mewarnai abad 21. Tidak mudah memperoleh pengasuh anak.. Hampir tak ada lagi pengasuh anak dalam keluarga yang bisa membantu ibu dan berperan turun temurun, dari generasi ke generasi, seperti yang pernah dialami pada era sebelumnya. Unsur kesetiaan dan pengabdian sudah berubah menjadi transaksi ekonomi semata, sekadar menjual dan memakai jasa. Sementara itu gagasan untuk mengatasi masalah ini dengan mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) masih memerlukan banyak pengkajian dan pertimbangan.
Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai sosok pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta mampu beradaptasi dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu diperhatikan kualitasnya. Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya). Persaingan ini memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam menghadapinya. Kebutuhan untuk "menjadi seseorang" dan "menjadi bagian" yang jelas kedudukannya bisa menjadi landasan untuk menumbuhkan motivasi pengembangan diri dan kemampuan beradaptasi. Kebutuhan ini erat kaitannya dengan pembentukan rasa percaya diri dan menumbuhkan motivasi untuk berusaha dan meraih kesempatan agar dapat senantiasa meningkatkan diri. Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi rintangan, mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan adalah sosok yang diperlukan untuk menjalani kehidupan dalam era globalisasi. Jelas bahwa pengembangan sikap dan perilaku tersebut merupakan tuntutan yang lebih berat daripada hasil pendidikan yang menjadi tanggung jawab generasi sebelumnya. Kemampuan mengantisipasi masa depan dengan berbagai alternatif untuk mengatasi permasalahannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah keluarga, melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu masyarakat, bangsa dan negara.
PERILAKU MANUSIA INDONESIA

1. Kehidupan masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Sebagai bangsa yang bangkit dari penjajahan (Belanda dan Jepang), di awal kemerdekaan manusia Indonesia mengembangkan perilaku penuh gairah membangun bangsa dan negara. Kebanggaan menyandang identitas sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat penuh mendorong terjadinya interaksi yang saling mengisi antar berbagai suku bangsa dalam semangat kesatuan dan persatuan, yang tercermin dalam lambang Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda tetap satu jua. Ada kebutuhan untuk saling mengenal, memahami dan menghayati agar kesatuan dan persatuan tidak hanya sekadar simbol, melainkan merasuk dalam kehidupan sehari-hari.
Kebanggaan dan cita-cita mempertahankan kemerdekaan serta keinginan untuk tampil sebagai bangsa yang dikenal dan dihormati dalam percaturan dunia telah membawa masyarakat dalam pengembangan perilaku kebersamaan, yang cenderung tidak mempertajam perbedaan latar belakang suku, pendidikan, agama, dan sebagainya. Menjadi Manusia Indonesia adalah tujuan yang diharapkan dapat dibentuk bersama oleh masyarakat "seribu pulau" ini. Ada kebutuhan yang ditumbuhkan untuk memotivasi masyarakat agar bisa tampil sebagai "Orang Indonesia" sebagai identitas diri yang baru, dengan tetap mempertahankan latar belakang warna suku bangsanya. Perpaduan berbagai ragam budaya pun dicari dan diusahakan bersama. Dengan falsafah gotong royong, semangat persatuan dan kesatuan, pembangunan bangsa dan negara mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
2. Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde Baru
Peristiwa di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) kemudian memunculkan arah baru dalam pembentukan perilaku manusia Indonesia. Masa yang dikenal sebagai Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai fokus utama. Masyarakat pun berpaling. Segenap lapisan berusaha mengikuti derap pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan dan harapannya. Sejalan dengan perkembangan ini maka sikap dan gaya hidup masyarakat pun berubah. Manusia Indonesia seolah dipaksa masuk ke dalam persaingan global yang berciri khas kapitalisme. Para pengusaha siap menjelajah seluruh pelosok dan menelan siapa saja untuk mencapai tujuannya demi laba yang ingin diraih. Arief Budiman (1991) mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia merasa sudah cukup dan tidak mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan. Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya, melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, "orang yang jujur tapi miskin tampak bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur."
Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan solidaritas dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk meraih yang terbanyak, tertinggi, lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak untuk meraih simbol status adalah tuntutan untuk bisa masuk dan bertahan dalam kehidupan sistem kapitalis. Akhirnya, kapitalisme bukan lagi sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah mencampuri nilai-nilai kehidupan dan menentukan arah tujuan hidup. Suasana inilah yang mewarnai periode pemerintahan Orde Baru. Upaya menciptakan manusia yang materalitis, individualistis, memiliki daya saing tinggi agar bisa menjadi pemenang dan mengalahkan pesaing-pesaing lainnya (siapapun dia) menjadi arah pembentukan perilaku oleh berbagai pihak.
Ada pemenang ada pecundang (the winner and the looser). Mereka yang mampu akhirnya memang ‘berhasil’ mengikuti gaya hidup global. Tapi, sebagian besar masyarakat Indonesia belum memiliki dukungan untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru. Keadaan ekonominya masih sangat jauh untuk bisa tampil dalam persaingan tersebut. Akibatnya, banyak orang menempuh jalan pintas. Korupsi, kolusi , koncoisme, nepotisme dilakukan orang dalam berbagai bentuk, yang sama buruknya dengan perilaku menipu, mencuri, merampok, melacurkan diri. Cara ini ditempuh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk bersaing tetapi sangat mendambakan kehidupan yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Berdasarkan kondisi kemampuan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia, Sri Mulyani Martaniah (1991) melihat banyak aspek dalam era globalisasi yang dapat berdampak negatif dan bisa menyebabkan patologi sosial dan memerlukan pengembangan psikologi komunitas sebagai salah satu cara mengatasinya.
Ada lagi kelompok lain, yaitu mereka yang tidak dapat melakukan cara-cara tersebut, tetapi tetap terimbas oleh kehidupan sistem kapitalis. Akibat bagi kelompok ini adalah perilaku yang menunjukkan perasaan tertekan (stress), depresi, bunuh diri, melarikan diri ke pemakaian obat-obatan dan minuman keras. Sebagian lainnya dari kelompok ini mengembangkan perilaku yang bersifat apatis. Mereka hanya menjadi penonton pasif dan mencoba bertahan dengan apa yang dimilikinya dan bisa dilakukannya, entah sampai kapan.
Manusia tak lepas dari lingkungannya. Kecenderungan mengikuti gaya hidup yang baru, yang "trendy" dan menempatkan nilai-nilai baru dalam ukuran keberhasilan telah merusak dan menghancurkan nilai-nilai tradisional yang sebelumnya dipegang teguh dan diyakini sebagai kebenaran. Nilai yang mementingkan kebersamaan dan menumbuhkan sikap gotong royong dilibas oleh nilai individualistis. Nilai yang meletakkan unsur spiritual berganti dengan unsur materi. Sikap yang mementingkan keselarasan dalam kehidupan bersama, sebagaimana yang telah mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, diubah menjadi sikap yang selalu mau bersaing dan memenangkan persaingan, tak peduli apapun caranya dan siapapun yang dihadapi.
Dalam periode ini semua pihak, mau tidak mau, suka atau tidak, seolah dipaksa masuk ke dalam pembentukan perilaku persaingan global. Namun, di sisi lain, pada saat yang bersamaan tidak ingin meninggalkan cita-cita bangsa, yaitu terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial. Benturan antara keyakinan terhadap nilai-nilai tradisional dan kenyamanan serta keamanan, yang pernah diberikan dalam cara kehidupan yang menjunjung tinggi kebersamaan, dengan kehidupan sistem kapitalis melahirkan konflik-konflik pribadi yang cukup tajam pengaruhnya dalam proses pembentukan perilaku.
Bayang-bayang kehidupan masyarakat dalam masa Orde Baru dengan berbagai benturan kepentingan dan kebutuhan itulah yang kemudian memunculkan Era Reformasi, yang ditandai oleh "lengsernya" Soeharto dari jabatannya selaku Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Wajah masyarakat muncul beraneka ragam. Berbagai bentuk perilaku tampak mencerminkan kondisi dan situasi yang dimiliki masing-masing, baik sebagai individu maupun kelompok, yang semula ditekan kuat-kuat agar tidak muncul ke permukaan dan tidak menimbulkan konflik terutama bagi mereka yang berbeda pendapat. Demonstrasi, pembentukan partai-partai baru, penjarahan, perkosaan, doa bersama, tuding menuding, menghujat dan dihujat mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Negeri seribu pulau dengan nyanyian nyiur melambai yang melambangkan kenyamanan dan kedamaian seolah terpuruk dalam tangis Pertiwi yang meratapi nasib bangsa dan negara yang tampak ‘carut marut’ oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Kondisi dan situasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dirasakan dalam keadaan terpuruk itu menjadi bertambah sulit proyeksinya ke depan, karena perilaku yang tampil di masyarakat tidak lagi mencerminkan kepedulian terhadap hukum dan aturan kehidupan bersama yang menimbulkan ketenteraman dan kenyamanan.


MAKNA HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU

Hukum dapat mengarahkan masyarakat ke arah pembaruan perilaku yang sesuai dengan kebutuhan mereka untuk dapat menghadapi berbagai tantangan, sekarang dan di masa yang akan datang. Ditinjau dari segi budaya hukum, yaitu bagaimana masyarakat mempersepsikan hukum, maka secara umum hukum dipersepsikan sebagai:
a.         suatu tatanan normatif dalam kehidupan bernegara
b.      berfungsi mengatur kehidupan warganegara dengan memberikan batasan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan
c.      bertujuan untuk melindungi tiap warganegara dengan mengacu pada nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan dan keadilan
d.         ditetapkan oleh otoritas yang legitimasinya diakui oleh seluruh warganegara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari sudut perilaku masyarakat, maka hukum memiliki dua fungsi, yaitu:
a.      memantapkan pola perilaku masyarakat yang sudah ada dan ingin dipertahankan dan/atau
b.      mengubah pola perilaku masyarakat yang ada saat ini ke arah perilaku baru yang dicita-citakan.
Persepsi masyarakat terhadap hukum dan kenyataan yang dirasakannya dalam menerima perlakuan hukum adalah unsur penting dalam pengembangan perilaku hukum. Bila masyarakat sungguh mempersepsikan bahwa hukum melindungi kepentingan mereka dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh otoritas yang diakui legitimasinya oleh warga, maka proses pemantapan ataupun perubahan perilaku yang dilakukan melalui pendekatan hukum akan dapat terlaksana secara teratur dan terencana.
Kepastian hukum dan jaminan pelaksanaannya merupakan landasan bagi masyarakat dalam pengembangan perilaku normatif yang diperlukan bagi keamanan dan kenyamanan kehidupan bersama. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan proses penegakan hukum merupakan unsur penting dalam mengembangkan perilaku yang peduli hukum, yang tampil dalam bentuk perbuatan yang memahami aturan, melaksanakan aturan, dan kesediaan menanggung konsekuensi akibat pelanggaran hukum yang dilakukannya. Perasaan diperlakukan secara adil juga penting bagi dipatuhinya aturan-aturan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai hukum yang berlaku. Sebaliknya, perlakuan hukum yang dirasakan berpihak akan mendorong timbulnya perilaku yang cenderung mengingkari, yang bisa muncul dalam bentuk "menghindari" atau bahkan melawan hukum (denda ‘damai’ atau suap).
Setiap anggota masyarakat diharapkan bisa secara mandiri memahami makna dan tujuan ditegakkannya hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terlalu memerlukan pengawasan. Dengan demikian jumlah aparat yang diperlukan untuk pengawasan dalam pelaksanaan hukum bisa lebih efisien. Salah satu ciri kemandirian adalah kemampuan memilih yang benar dari yang salah berdasarkan norma atau aturan yang berlaku di satu tempat dalam kurun waktu tertentu. Kesiapan seseorang untuk bisa mandiri dalam membedakan yang benar dan salah berdasarkan norma yang diyakininya dan dijadikannya sebagai pegangan dalam berperilaku memerlukan proses yang bertahap. Menurut Lawrence Kohlberg ada tiga tahapan pokok yang dilalui seseorang untuk mampu bersikap adil dan mengembangkan sikap dan perbuatan berdasarkan pertimbangan moral., yaitu:
a.      Moralitas Prakonvensional. Pada tahapan ini dasar yang menjadi pegangan dalam bersikap dan bertingkah laku adalah pujian dan hukuman yang diberikan oleh lingkungan. Tingkah laku yang diancam hukuman tidak akan dilakukan lagi. Sebaliknya, perbuatan yang mendatangkan pujian atau hadiah akan cenderung diulang.
b.      Moralitas Konvensional. Pada tahapan ini perilaku sudah lebih disesuaikan dengan norma yang dianut dalam lingkungan sosial tertentu. Sikap dan perilaku diarahkan supaya bisa dikelompokkan sebagai perbuatan seorang anggota atau warga masyarakat yang baik.
c.         Moralitas Pascakonvensional. Pada tahapan ini prinsip-prinsip moral digunakan dalam arti luas, tidak sekadar hitam putih dan tidak mengacu pada batasan-batasan sempit yang berlaku hanya untuk kalangan masyarakat tertentu.
Perilaku masyarakat terbagi dalam tiga kelompok tersebut, yang dipengaruhi oleh proses perkembangannya. Tingkat kematangan pribadi sangat menentukan moralitas yang mendasari perilakunya.
Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia, yaitu:
a.         Cara belajar instrumental
b.         Cara belajar observasional
Belajar instrumental pada dasarnya mengatakan bahwa suatu perilaku yang diikuti oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan perilaku yang diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan diulangi. Contoh: Bila dalam pengalaman sehari-hari seseorang selalu mengalami bahwa "mengurus KTP dengan mengikuti prosedur yang berlaku" (perbuatan menaati peraturan) membuat dia kehilangan jam kerja berhari-hari, sedangkan dengan "mengurus KTP dengan memberi uang pelicin" (perbuatan melanggar peraturan) petugas malahan mengantar KTP baru ke rumah, maka menurut belajar instrumental, dia akan cenderung memberi uang pelicin setiap kali harus mengurus KTP di masa yang akan datang, walaupun perbuatan itu melanggar hukum. Menurut persepsinya, perbuatan itulah yang menghasilkan reinforcement sedangkan menaati hukum justru menghasilkan punishment.
Tentu dalam hal ini keterkaitan (contingency) antara suatu perilaku dengan konsekuensi yang menyertainya harus terjadi secara konsisten untuk suatu jangka waktu tertentu sebelum pola perilaku yang diinginkan dapat terbentuk. Tanpa adanya konsistensi ini maka perilaku yang diinginkan tidak akan dapat terbentuk. Misalnya bila pada suatu waktu si Anu akan melewati lampu merah dilarang oleh polisi, sedangkan ketika ia melakukan hal yang sama pada waktu lain polisi membiarkan saja hal tersebut maka tidak akan terjadi proses pengkaitan antara "melewati lampu merah" dengan "penilangan oleh polisi." Sebagai konsekuensinya tidak akan terbentuk perilaku "berhenti setiap kali melihat lampu merah."
Belajar observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan mengamati orang lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Besarnya pengaruh perilaku model terhadap perilaku si pengamat tergantung pada tiga hal, yaitu:
a.         penilaian pengamat tentang kemampuannya untuk dapat melaksanakan perilaku yang ditunjukkan oleh model
b.         persepsi pengamat tentang hasil perilaku yang ditunjukkan model, yaitu apakah menghasilkan konsekuensi positif atau negatif
c.         perkiraan pengamat, apakah ia akan menghasilkan konsekuensi yang sama bila ia juga melaksanakan perilaku yang ditunjukkan model.
Contoh: Si Polan belum pernah mangkir dari pekerjaan karena hal tersebut melanggat peraturan kerja yang ada. Namun si Polan mengamati bahwa atasan dan rekan kerjanya yang sering mangkir tidak pernah ditegur atau dihukum, malahan dapat menikmati uang dari hasil pekerjaan sampingan (reinforcement) yang dilakukan pada saat mangkir kerja. Dalam situasi ini si Polan pun akan cenderung untuk ikut mangkir kerja dan melakukan pekerjaan sampingan, sesuai dengan perilaku model yang diamatinya. Menurut Bandura (1986) belajar observasional dari model ini telah terbukti sebagai sarana yang ampuh untuk meneruskan nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam masyarakat. Bila persepsi masyarakat tentang peranan hukum dikaitkan dengan kedua mekanisme belajar tadi, maka hukum sebenarnya merupakan suatu instruksi atau pemberitahuan dari otoritas yang diakui kewenangannya mengenai:
a) perilaku yang diharapkan dari semua individu yang dikenai oleh hukum tersebut
b) konsekuensi yang akan dialami individu pelaku bila ia melaksanakan atau menolak
melaksanakan perilaku yang dimaksud.
Agar hukum ini dapat berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu dipenuhi, yaitu:
a.         hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut
b.         konsekuensi dari dipatuhi atau tidak dipatuhinya hukum tersebut harus dijalankan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian.
Arah pembangunan Indonesia dalam tiga dasa warsa terakhir ini, yang dikenal sebagai era Orde Baru, pada hakekatnya adalah pembangunan yang sangat menekankan pengembangan bidang ekonomi. Dalam konteks ini segala sesuatu diarahkan agar pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung tanpa mengalami gangguan. Untuk itu harus selalu diupayakan terciptanya stabilitas ekonomi agar dapat menarik para investor. Stabilitas ekonomi memerlukan dukungan stabilitas politik, yang kemudian oleh para pejabat negara seringkali diinterpretasikan sebagai perlunya pendekatan keamanan (security approach). Tanpa terasa, secara bertahap, semakin banyak kebijakan, keputusan dan kebijaksanaan yang dibuat dengan dalih mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional, padahal dalam kenyataannya tidak jarang hal tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan kadang-kadang bahkan merugikan rakyat kecil. Hal ini antara lain terlihat dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan yang bertentangan dengan hukum, seperti pemberian hak monopoli untuk komoditi tertentu, keputusan-keputusan pengadilan yang dirasakan kurang adil, misalnya penyelesaian kasus Kedung Ombo dan hak tanah ulayat di Irian Jaya. Dalam bentuk lain, hal yang sama sering terlihat dalam proses penegakan hukum ataupun proses pengadilan di mana status, kekuasaan atau uang yang dimiliki pelanggar hukum ikut mempengaruhi jalannya persidangan maupun keputusan yang diambil.
Berbagai hal yang kurang menguntungkan dalam pengembangan perilaku masyarakat yang sadar hukum, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, masih diperburuk lagi dengan adanya dua hal yang sangat berpengaruh dalam pembentukan perilaku:
a.         budaya feodalisme dan paternalistik yang membuka banyak peluang bagi yang berkuasa di berbagai tingkat untuk membuat aturan sendiri atau melakukan interpretasi subyektif terhadap hukum dan perundang-undangan yang ada, sehingga peraturan yang sama dapat diartikan berbeda oleh pejabat yang berbeda, di wilayah yang berbeda atau dalam kurun waktu yang berbeda.
b.         adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam proses tersebut.
Berbagai hal tadi dengan sendirinya menurunkan wibawa para penegak hukum seperti hakim, pengacara, polisi, dan lain sebagainya serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan sistem penegakan hukum itu sendiri.
Apa arti kenyataan itu dilihat dari pendekatan belajar dalam rangka pembentukan perilaku menurut mekanisme belajar instrumental dan observasional?
a.         Kenyataan bahwa seringkali ada peraturan-peraturan yang bertentangan atau tidak konsisten satu dengan yang lain akan menimbulkan kebingungan, baik di tingkat pelaksana maupun pada mereka yang dikenai oleh peraturan tersebut. Padahal untuk dapat terjadi proses pembentukan perilaku sesuai dengan yang dianjurkan oleh peraturan tertentu, syarat pertama yang harus terpenuhi adalah bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya harus mengerti dengan jelas, apa yang dimaksud oleh peraturan tersebut. Sebagai konsekuensinya, kondisi di mana terdapat kebingungan jelaslah bukan situasi yang memungkinkan terjadinya pembentukan perilaku yang sesuai peraturan.
b.         Adanya penerapan hukum secara berbeda, tergantung pada status dan kekuasaan orang yang ikut dalam proses penyelesaiannya maupun pada status dan kekuasaan individu yang dikenai oleh hukum tersebut, menyebabkan konsekuensi dari hukum/peraturan tersebut tidak dapat dilakukan secara konsisten tanpa pengecualian. Bila kondisi ini tidak terpenuhi, maka pembentukan perilaku yang dituju oleh hukum tersebut tidak akan terjadi.
c.         Kenyataan bahwa orang yang memiliki kekuasaan seringkali mendapat perlakuan yang menguntungkan (reinforcement) secara konsisten akan menjadikannya sebagai model bagi para pemegang kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, semakin banyak para pemilik kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah meneladani pola perilaku para pemimpin yang lebih tinggi. Namun, sayangnya peneladanan ini lebih jarang terjadi dalam hal menaati hukum tanpa pengecualian dan lebih sering terjadi dalam hal memperoleh perlakuan yang berbeda dan menguntungkan, sesuai dengan kedudukan atau kekuasaan mereka. Hal ini agaknya dapat menjelaskan semakin meningkatnya praktek korupsi, kolusi, koncoisme dan nepotisme di kalangan penguasa di berbagai tingkatan di negara kita.
Dengan perkataan lain, hukum tertulis yang berisikan instruksi atau pemberitahuan mengenai perilaku yang diharapkan dan sanksi yang merupakan konsekuensinya tidak efektif karena tidak dapat dilaksanakan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian. Di sisi lain, hal-hal yang ingin dicegah oleh hukum, yaitu adanya perlakuan yang berbeda pada orang dengan status yang berbeda, justru menjadi semakin tumbuh subur di antara para pemegang kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh karena mereka mengamati banyak sekali teladan dari penguasa yang lebih tinggi, yang menunjukkan bahwa "tidak menaati hukum secara konsisten dan tanpa pengecualian" justru memberikan konsekuensi positif (reinforcement) pada mereka. Dalam kondisi demikian kiranya akan sangat sulit untuk berharap bahwa pelaksanaan hukum secara konsisten tanpa pengecualian akan dapat ditegakkan.
Namun, yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan adalah konsekuensi yang mungkin terjadi bila keadaan seperti ini terus berlanjut. Dalam hal ini ada beberapa hal yang mungkin terjadi:
a.         Mereka yang merasa dirugikan akan berusaha untuk memperjuangkan perbaikan melalui cara-cara yang dimungkinkan oleh hukum. Alternatif ini semakin mungkin untuk dipilih bila situasi dan kondisi memungkinkan dan cukup banyak anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan dan mau bertindak asertif untuk mengupayakan perubahan (memiliki self-efficacy tinggi).
b.         Bila situasi dan kondisi tidak memungkinkan alternatif di atas atau alternatif tersebut sudah diusahakan tetapi tidak membuahkan hasil maka akan muncul perasaan frustrasi. Dengan adanya stimulus tertentu sebagai pemicu, frustrasi ini dapat dengan mudah menjelma menjadi perilaku agresif. Pengamatan terhadap pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa dalam pola budaya yang berorientasi kekuasaan, orang-orang yang berstatus rendah lazimnya mencari perlindungan dalam kolektivitas (Lev, 1991). Bandura (1986) menemukan hal yang kurang lebih sama, yaitu bila cukup banyak orang yang memiliki self-efficacy tinggi, maka mereka cenderung untuk melakukan protes dan usaha kolektif untuk mengubah keadaan.
c.         Bila perasaan frustrasi yang diakibatkan oleh tidak adanya kemungkinan untuk melakukan tindakan perbaikan berlangsung dalam waktu yang relatif lama atau bila berbagai upaya yang telah dilakukan berkali-kali tidak memberikan hasil nyata, maka sebagian besar kemungkinan mereka yang terlibat akan mengalami apa yang disebut sebagai "learned helplessness". Artinya, proses panjang dari berbagai upaya yang telah dilakukan namun tidak membuahkan perubahan yang diinginkan menyebabkan orang-orang ini belajar menjadi tidak berdaya dan tidak mau lagi berusaha, karena mereka tidak lagi percaya akan adanya hubungan antara usaha mereka dengan hasil yang ingin dicapai (bersikap apatis). Bila hal ini terjadi pada cukup banyak anggota masyarakat kita, khususnya orang muda, kiranya akan sulit bagi bangsa kita untuk dapat bersaing secara global di abad 21 dan menjadi bangsa yang percaya akan kemampuan diri sendiri.
Kondisi dan situasi negara dewasa ini, yang sedang dilanda berbagai kesulitan dalam kehidupan akibat krisis moneter berkepanjangan, serta terbongkarnya praktek-praktek pelanggaran hukum justru oleh mereka yang seharusnya dijadikan panutan masyarakat, baik sebagai penentu kebijakan maupun selaku aparat penegak, berdampak luas terhadap kondisi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis kepercayaan ini kemudian melahirkan sikap yang cenderung mengabaikan hukum. Perilaku masyarakat yang akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan melanggar hukum dalam memenuhi kebutuhannya dan ‘main hakim sendiri’ dalam menyelesaikan masalahnya, harus ditanggapi secara sungguh-sungguh dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai dijadikan pola perilaku menetap karena ‘dilegalisir’ secara tak langsung oleh pejabat negara. Tanpa disadari pernyataan pejabat negara yang dimaksudkan sebagai simpati terhadap kesulitan hidup yang dialami warga masyarakat (atau justru menarik simpati masyarakat?) telah menimbulkan persepsi yang mengesankan ‘disahkannya’ perilaku hukum yang menyimpang. Contoh: pengungkapan dan penyelesaian masalah perbankan, tanah, operasi becak di Jakarta, kasus orang hilang, penjarahan, dan sebagainya.
Peristiwa huru hara di Jakarta dan kota-kota lainnya pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 dan hari-hari berikutnya semakin membawa negeri ini dalam keadaan terpuruk dengan krisis kepercayaan yang sangat berat. Situasi yang tak kunjung stabil, sementara masyarakat menantikan kepastian dalam penegakan hukum, akhirnya menumbuhkan sikap apatis dan putus asa dengan segala konsekuensinya. Kondisi ini mengantar pemerintah pada beban yang amat berat, terutama dalam hal pemulihan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Diperlukan sikap yang mampu menampung aspirasi ketiga kelompok masyarakat dalam pengembangan moral (prakonvensional, konvensional, pascakonvensional) agar kehidupan bersama bisa ditata kembali. Komunikasi yang digunakan, baik bentuk maupun jalurnya, harus sangat memperhitungkan karakter kelompok masyarakat secara cermat, sehingga tidak terjadi salah tafsir atau keliru interpretasi. Dalam kaitan ini pernyataan pejabat, penjelasan pemerintah, penetapan kebijakan harus mengacu pada kepentingan segala lapisan masyarakat, dengan memperhatikan karakteristik masing-masing, sehingga dapat dipahami dengan baik.
Bagaimana mengubah pola perilaku masyarakat melalui hukum? Seperti telah diuraikan terdahulu, salah satu fungsi hukum adalah untuk mengubah perilaku masyarakat ke arah yang diinginkan. Bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip perubahan perilaku berarti diperlukan hukum yang berisikan batasan perilaku yang diinginkan dan uraian yang jelas tentang konsekuensi yang akan diterima bila hukum tersebut ditaati atau dilanggar. Namun, agar sistem hukum yang baru dapat berfungsi secara efektif diperlukan persyaratan berikut:
a.         Sistem hukum tersebut harus dimengerti oleh mereka yang akan melaksanakannya maupun oleh mereka yang akan dikenai oleh hukum tersebut. Hal ini berarti perlu dilakukan peningkatan keahlian (memiliki expert power) dari para penegak hukum sehingga keputusan-keputusan mereka dihargai dan dihormati oleh semua pihak. Di samping itu perlu pula dilakukan pendidikan/penyuluhan hukum bagi seluruh anggota masyarakat sehingga mereka mengetahui apa yang merupakan hak mereka dan apa yang merupakan tanggung jawab mereka.
b.         Sistem hukum tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan mengikat semua warga tanpa pengecualian termasuk si pembuat hukum sendiri (Golding, 1975). Keberhasilannya terutama akan sangat ditentukan oleh keteladanan (memiliki referent power) dan political will dari para pemegang kekuasaan serta komitmen dari semua pihak.
c.         Sistem hukum tersebut didukung oleh sistem dan budaya demokratis di mana masyarakat dan pers dapat menjalankan fungsi kontrol.
Bagaimana proyeksi kita ke depan? Pengalaman selama enam Pelita menunjukkan bahwa pembangunan yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa disertai dengan pertumbuhan yang seimbang di bidang sosial, politik dan hukum ternyata tidak berhasil meningkatkan daya saing kita di dunia internasional. Berarti kita memerlukan suatu pembaharuan yang menyeluruh sifatnya dan mencakup berbagai aspek kehidupan bangsa. Beberapa hal yang dapat disebutkan antara lain adalah:
a.         Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa agar dapat menjadi bangsa yang percaya diri dan sekaligus mampu berkiprah di dunia internasional. Untuk mencapainya diperlukan suatu transformasi sosio-kultural dari budaya feodal, paternalistik dan berorientasi kekuasaan menuju budaya yang lebih bersifat demokratis, partisipatif dan berorientasi ke depan.
b.         Untuk dapat berkiprah di dunia internasional kita perlu memperoleh kepercayaan dari dunia internasional. Untuk itu kita perlu memiliki hukum yang mengacu pada nilai-nilai universal seperti penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan lain sebagainya. Selain itu, salah satu hal pokok yang dapat membina kepercayaan dunia internasional ialah adanya sistem hukum yang berwibawa dan berlandaskan asas-asas ukum modern dengan dukungan sistem peradilan yang dapat diandalkan.
Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa betapapun bagusnya rencana, sistem, maupun kelembagaan yang diciptakan, kemungkinan berhasilnya akan sangat kecil bila tidak didukung oleh perubahan yang mendasar dalam pola pikir, sikap dan perilaku pada tingkat individu sebagai anggota masyarakat.
Ada dua alternatif keadaan masyarakat Indonesia berdasarkan analisis tersebut, yakni:
a.         menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau
b.         menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Indonesia, sebagai bangsa dan negara, juga secara individual, memiliki dua pilihan tersebut. Namun, bila dilihat dari sudut belajar observasional di mana unsur keteladanan (referent power) memegang peranan penting dalam mengubah pola perilaku, maka sikap pemimpin bangsa dan negara ini menjadi sangat bermakna. Semakin tinggi status seseorang dan semakin besar kekuasaan/pengaruhnya, maka semakin menentukan pula pilihannya bagi masa depan bangsa.


PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN 
PERILAKU DAN PROYEKSI DI ABAD 21

Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan era globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk menikmati gaya hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang, dengan berbagai cara. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, berusaha pagi dan petang. Mereka membanting tulang dan memeras keringat untuk meraih yang terbaik demi gaya hidup global. Tentu saja kondisi ini berpengaruh terhadap kehidupan kekeluargaan, yang menjadi kurang terbina. Mulailah terjadi kerenggangan antara suami istri, orang tua dan anak, yang tentunya sukar untuk diharapkan sebagai tempat persemaian tumbuh kembang anak secara optimal. Era globalisasi juga melahirkan kompetisi yang membutuhkan kompetensi tinggi di segala bidang untuk bisa menjadi pemenang. Hanya yang terbaik yang bisa memenangkan kompetisi. Akibatnya, orang tua memaksa anak meninggalkan dunianya dan mengisinya dengan upaya pembekalan diri untuk dapat meraih kompetensi sebanyak-banyaknya. Dunia kanak-kanak yang ceria tak lagi bisa dinikmati, berganti dengan jadwal ketat yang mengantarnya pada situasi yang selalu serius dan memandang jauh ke depan. ‘Paksaan’ yang melanda anak dalam penafsiran era globalisasi di bidang ekonomi ini tentunya bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak di kemudian hari, baik terhadap kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya sendiri, lingkungan dan situasi krisis dalam pengalaman hidupnya yang sangat membekas dalam dirinya. Pada unsur pribadi (diri sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir, memberikan alasan, kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan kemampuan memberikan respon sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh tingkat kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat, dan aspek genetika. Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota masyarakat merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan dan kemampuan mengelola pengalaman.
Pembentukan perilaku normatif dimulai dari pengenalan terhadap aturan yang berlaku dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian menjadi pengalaman yang terekam dalam kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan norma di luar diri menjadi pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam berperilaku (internalisasi). Tergantung dari tingkat kematangan pribadinya, pengembangan nilai dalam diri sendiri bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu dipertahankan secara tangguh dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang tersebut tidak akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan. Dia tahu memilih yang benar, yang perlu, yang bermanfaat dan bisa dengan mudah membedakannya dari hal-hal yang bisa merugikan pribadi maupun lingkungannya. Pengalamannya berpadu dengan penalaran pikirnya, menghasilkan dialog yang terus menerus sebelum memutuskan sikap dan perilaku dengan kesadaran terhadap konsekuensinya, baik untuk diri sendiri maupun lingkungan.
Sikap dan perilaku orang tua sebagai anggota masyarakat yang menampilkan gaya hidup dan etos kerja serta pengembangan interaksi dengan lingkungan akan direkam anak, baik untuk kepentingan belajar instrumental maupun belajar observasional. Perilaku masyarakat menuju abad 21 tidak lagi mencerminkan setia kawan, gotong royong seperti yang tampak di era sebelumnya. Perilaku itu cenderung meluntur, terutama di kota-kota besar. Tingkah laku manusia di kota besar lebih mengarah pada kesibukan pribadi, tidak acuh, tidak peduli terhadap mereka yang kurang beruntung (individualis). "Pokoknya saya senang, saya berhasil, saya bisa meraih semuanya. Apa yang terjadi dengan orang lain, bukan urusan saya," kata si individualis, yang juga masuk ke dalam rekaman anak dan bukan tak mungkin dijadikannya pola bertingkah laku.
Ketidakpastian dalam penegakan hukum berdampak pula pada perilaku yang ditampilkan orang tua dan anggota masyarakat lainnya dalam bekerja dan berorganisasi, yang selanjutnya bisa dijadikan acuan oleh anak dalam mengembangkan dirinya. Tindakan yang lebih suka memilih jalan pintas untuk mencapai tujuan, tidak tepat waktu, unjuk kerja seadanya, lebih menuntut fasilitas daripada tanggung jawab adalah melunturnya etos kerja yang diamati anak dengan leluasa, di dalam maupun di luar rumah (orang tuanya sendiri maupun orang tua lainnya). Sikap mau menang sendiri, tidak adanya kepatuhan terhadap hukum, pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku adalah ketidakdisiplinan pribadi yang bisa ditangkap anak dari orang tua dan lingkungannya. Tindak kejahatan dengan kekerasan, baik yang berupa pengrusakan, perampokan, penyiksaan, perkosaan juga pertikaian yang diakhiri dengan pembunuhan, walaupun penyebabnya mungkin sepele, adalah agresivitas yang masuk dalam benak anak dan bisa menjadi referensi dalam menjalani kehidupannya. Kesenangan berlebihan terhadap barang-barang simbol teknologi canggih dan kemapanan serta kenyamanan hidup sebagai kecenderungan hidup materialistik bisa dijadikan dasar pola pembentukan perilakunya. Penggunaan berlebih terhadap produk teknologi canggih tanpa memperhatikan kondisi lingkungan yang bisa dikatakan sebagai kecenderungan pendewaan teknologi adalah referensi lain yang sewaktu-waktu siap ditampilkan anak. Meningkatnya frekuensi dan intensitas perkelahian antar kelompok remaja dan dewasa muda adalah situasi lain yang diamati anak. Mereka melihat mengurangnya kemampuan menalar, komunikasi dan penyelesaian masalah melalui dialog di antara pelaku-pelakunya. Dalam hal ini pengaruh media massa terasa sangat bermakna.
Kesibukan kota besar yang segera merambah pelosok lainnya dengan gerak hidup cepat, bertubinya rangsangan kegiatan dan mobilitas pribadi yang tinggi menempatkan individu dalam situasi yang dilematis. Situasi tersebut membuat individu harus memilih antara pencarian kegiatan yang didasari oleh minat pribadi dengan pelestarian ikatan dan fungsi utama keluarga sebagai sarana dalam menyiapkan anggotanya untuk hidup bermasyarakat. Kecenderungan ini oleh para ahli dianggap sebagai melunturnya fungsi utama keluarga. Fokus perhatian yang lebih mengarah pada tugas-tugas di luar rumah agar tak kalah bersaing kemudian menjadi pilihan orang tua dan sekaligus menempatkan anak dalam kekosongan yang cukup bermakna, terutama dalam upaya pembentukan hati nurani yang akan menjadi pemandunya kelak, sebagai orang yang tangguh, mandiri, tapi juga peduli lingkungan dengan warna spiritual yang kental dan luwes. Apakah orang tua dan masyarakat menyadari kepentingan ini, juga bahwa masa depan bangsa dan negara ada di tangan anak-anak yang sekarang menjadi penonton dan pengamat perilaku orang tua, baik yang ada di rumahnya maupun di masyarakat, apapun peran dan fungsinya? Seberapa jauh kita menyiapkan anak-anak agar bisa berkualitas tinggi dalam abad 21 nanti?
Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai keadaan dan kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak. Dia akan berkembang menjadi manusia dewasa. Kalau perkembangan fisiknya secara umum berjalan sesuai dengan pertambahan umurnya, maka kemampuan kecerdasan dan perkembangan emosi serta proses adaptasi atau penyesuaian diri dan ketakwaannya sangat memerlukan asuhan dan pendidikan untuk bisa berkembang optimal. Melalui bekal pendidikan dan proses perkembangan yang dialaminya selama mendapatkan asuhan dari lingkungannya, diharapkan anak akan mampu menyongsong dan menjalani masa depannya dengan baik.
Memberi bekal adalah sikap yang mencerminkan pemikiran dan pandangan ke depan. Artinya, kondisi atau keadaan dan situasi yang akan dihadapi anak nantinya, ketika ia sudah menjadi orang dewasa, sangat perlu diperhitungkan. Kehidupan berjalan ke depan. Jadi, sangatlah penting mempertimbangkan kondisi dan situasi di masa depan itu dalam upaya memberikan bekal kepada anak. Sosok manusia dewasa hasil asuhan dan pendidikan orang tua dalam kurun waktu sekarang akan terlihat secara jelas dalam perkembangan anak menjadi orang dewasa. Berhasilkah pendidikan dan asuhan yang telah diberikan? Tercapaikah harapan dan cita-cita atau impian orang tua? Bahagiakah anak dengan yang diperoleh dan dimilikinya? Mampukah ia menjadi sosok pribadi yang diangankannya sendiri, yang mungkin sama dengan harapan orang tua dan lingkungan pendidiknya yang lain? Semua jawaban itu baru akan tampak nanti, ketika anak sudah menjadi dewasa.
Latar belakang pengertian tersebut hendaknya menjadi dasar pengembangan pola asuhan dan pendidikan untuk anak. Biasanya pendidikan diberikan berdasarkan pengalaman masa lalu, yakni ketika yang menjadi orang tua masih berstatus kanak-kanak, yang menerima pendidikan dari orang tuanya. Pengalaman masa lalu ini kerap kali cukup mewarnai pola asuhan dan pendidikan anak. Pemanfaatan pengalaman memang selalu ada gunanya. Akan tetapi sikap yang mampu mengantisipasi ke depan juga sangat penting, karena anak tidak akan hidup di masa lalu, tetapi menapak ke masa depan. Dengan demikian posisi pengalaman ketika menerima didikan dan asuhan orang tua di masa lalu hanyalah pantas sebagai acuan atau referensi, terutama dalam rangka mengembangkan empati (penghayatan, kemampuan merabarasakan dari sudut pandang atau posisi orang lain) agar komunikasinya bisa berjalan seperti yang diharapkan. Terapan pengalaman masa lalu ayah ibu, ketika dididik dan diasuh orang tuanya, perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi perkembangan jaman. Tanpa penyesuaian, pola asuh dan pendidikan yang dilakukan akan cenderung menyulitkan anak dalam perkembangannya, sehingga iapun akan tumbuh menjadi sosok pribadi yang sukar menemukan konsep diri, sulit menyesuaikan diri dan tentunya sulit mengaktualisasikan diri.
Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan pribadi anak dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad 21 seyogianya tidak hanya dilihat sebagai hal yang mengancam, dengan dampak kecemasan atau kekhawatiran dalam mendidik anak, yang mungkin hanya akan menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang menguntungkan. Kecemasan dan kekhawatiran biasanya akan menyebabkan orang tua menjadi tegang dan tertekan sehingga kurang mampu melihat alternatif, lalu justru menekan anak padahal tindakan itu lebih ditujukan untuk dapat menenteramkan dirinya sendiri.
Kondisi jaman dalam era globalisasi justru bisa dimanfaatkan untuk membangun sosok-sosok pribadi yang tangguh dan mandiri, antara lain karena terbiasa menghadapi persaingan yang ketat dan mampu memanfaatkan fasilitas dan peluang yang dibukakan oleh "pintu globalisasi." Untuk itu orang tua sangat perlu menyadari, bahwa kehidupan terus berkembang sesuai perputaran dunia, jaman pun berubah. Sangat diperlukan kemampuan dan kemauan untuk mengikuti perubahan dan senantiasa menyesuaikan diri.
Perubahan kondisi dan situasi orang tua dalam menjalankan peran dan fungsinya selaku pengasuh dan pendidik anak perlu diikuti dengan upaya menambah pengetahuan, meluaskan wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Dengan sikap ini maka orang tua pun bisa diharapkan melaksanakan tugasnya dalam mengarahkan, membimbing, mendorong, membantu anak serta mengusahakan peluang/kesempatan untuk berprestasi optimal, sesuai dengan kemampuannya. Berpikir positif dan bersikap adaptif adalah sikap yang diharapkan dari para orang tua yang kini tengah mendidik dan mengasuh anak-anak yang akan memasuki era globalisasi. Tugas ini tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu. Bersama, ayah dan ibu menyikapi perubahan jaman dalam kondisi yang lebih menguntungkan bagi anak, sehingga ia mampu menyongsong era globalisasi dengan keyakinan diri yang kuat, berdasarkan bekal yang diperolehnya dan kepercayaan akan rakhmat dan karunia-NYA.

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG KUALITAS MANUSIA INDONESIA

Dari berbagai pembahasan mengenai kualitas manusia Indonesia dalam periode Orde Baru yang memfokuskan pembangunan di bidang ekonomi, terlihat kecenderungan untuk menyimpulkan beberapa insiden sebagai gambaran manusia Indonesia dewasa ini yang lebih menandakan sikap instrumental, egosentris, kurang peka terhadap lingkungannya, konsumtif, dan melakukan jalan pintas untuk mencapai kepuasan pribadi. Bernadette N. Setiadi dan kawan-kawan dalam penelitiannya (1989) menemukan hal-hal yang menguatkan pengamatan tersebut. Menurutnya, kualitas manusia Indonesia diwarnai oleh kurangnya etos kerja dan sangat berorientasi pada hasil akhir tanpa atau kurang memperhatikan proses pencapaian hasil akhir. Enoch Markum (1984) mengemukakan bahwa untuk menyongsong pembangunan tahun 2000 mendatang secara mutlak diperlukan manusia Indonesia dengan karakteristik tingkah laku seperti kemandirian, kerja keras, gigih dan prestatif. Saparinah Sadli dan kawan-kawan (1985) dalam penelitian tentang sistem nilai masyarakat kota besar yang dilakukan pada pertengahan dekade delapanpuluhan menemukan bahwa masyarakat kota mempunyai besar nilai terminal (preverensi tujuan hidup) yang diwarnai dengan hal-hal yang sifatnya materi. Sedangkan nilai instrumental (preverensi cara-cara pencapaian tujuan hidup) lebih ditandai oleh pengutamaan kompetensi pribadi.
Abad 21 yang memunculkan situasi makin terbukanya hubungan antar bangsa/negara membuat batasan sebelumnya menjadi tipis, sehingga berlangsung persentuhan aspek kehidupan mental psikologis, ekonomi, sosial, budaya. Bila dikaitkan dengan proses pembentukan tingkah laku manusia, maka proses globalisasi membawa kemungkinan sebagai berikut:
a.         terjadi peningkatan interaksi, interdependensi dan saling pengaruh
b.         terbuka pilihan pengembangan diri yang memerlukan penyesuaian prioritas tindakan secara terus menerus sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Secara psikologis terjadi perubahan kognitif, perubahan kebutuhan, yang kemudian membawa pembentukan nilai (pemberian skala prioritas) terhadap hal-hal yang dianggap bermakna dalam hidupnya.
La Piere (1981) mengartikan pembangunan sebagai suatu usaha yang secara sistematis direncanakan dan dilakukan untuk merubah kondisi masyarakat yang ada ke arah kondisi dan taraf kehidupan yang lebih santun. Di sini terkandung arti bahwa pembangunan sebenarnya merupakan suatu perubahan sosial, yang mau tidak mau merujuk pada terjadinya perubahan tingkah laku individu warga masyarakat yang sedang membangun. Fuad Hassan menyatakan bahwa hakiki manusia adalah kemampuan manusia untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan kehidupannya dalam suatu keadaan yang menjadi pilihannya. Manusia berpeluang untuk diarahkan agar bisa menumbuhkan motivasi, sehingga di setiap saat dan situasi ia selalu berusaha mencari peluang dan kesempatan yang menarik keinginan dan perhatiannya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Di setiap saat dan situasi manusia dihadapkan pada berbagai alternatif pilihan. Ia memerlukan kebebasan untuk dapat menentukan pilihan yang baik, yaitu pilihan dengan kapasitas, bakat serta minat atau kebutuhannya secara umum. Dengan kebebasan itu barulah ia leluasa melakukan aktuialisasi diri, menentukan arah dan pengembangan hidupnya.
Mempelajari hakiki manusia sebagai mahluk sosial, jelas bahwa ia membutuhkan kehadiran manusia lainnya, kebutuhan untuk berkelompok dan menjadi bagian dari kelompok. Membanjirnya peluang, kesempatan dan pilhan untuk aktualisasi diri sering membuat manusia hanyut sehingga melupakan hakiki yang sangat mendasar. Terbawanya manusia dalam banjir informasi menyebabkan kekaburan manusia untuk memahami perbedaan antara kebutuhan dengan keserakahan (needs and greed), butuh dan ingin (wish and need) yang kemudian mendorong manusia untuk secara terus menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi. Dia lalu berkembang menjadi mahluk yang egosentris dan instrumental. Mereka yang tidak mampu sehingga tidak mungkin memenuhi kebutuhan aktualisasi diri akan memunculkan pesimisme dan kekhawatiran, yang bisa melahirkan ketidakpuasan dan protes terhadap kejadian di lingkungannya. Disonansi, kesenjangan generasi, kesenjangan kelas sosial-ekonomi, adalah efek samping lainnya karena usaha yang dilakukan tidak lagi sekadar ingin memiliki tetapi juga memuaskan, sementara kepuasan sifatnya relatif dan cenderung tidak berujung. Keserakahan menampilkan wajah egosentris yang kemudian melepaskan diri dari kasih sayang (Gromm). Kemudahan komunikasi membuat individu melupakan peran-peran lain dalam kehidupan, terutama yang menyangkut kehidupan interdependensi. AKU menjadi sangat menonjol. Situasi ini bisa menjadi pemicu bagi pemunculan pribadi yang kehilangan kontrol diri.
Psikologi sebagai ilmu yang kajian utamanya adalah perilaku manusia terkait erat dengan telaah proses pembentukan perilaku, yang hasilnya bisa disumbangkan sebagai intervensi dalam pembentukan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi. Keterlibatan dalam upaya rekayasa tingkah laku, baik dalam kapasitas sebagai sarana belajar maupun bimbingan dan penyuluhan, perlu dilakukan untuk mendapatkan wawasan tentang konteks dan lingkungan serta eksistensi manusia. Cara yang bisa ditempuh dalam upaya rekayasa ini adalah melakukan usaha yang berkesinambungan dengan memperhitungkan dukungan kelompok maupun dukungan masyarakat. Untuk itu kerjasama dengan berbagai disiplin ilmu lainnya terasa sangat bermakna. Psikologi akan memfokuskan pada upaya pembangkitan kebutuhan untuk berubah agar bisa menjadi pendorong (motivasi) dalam proses perubahan tingkah laku yang diharapkan. Pembekalan individu dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup harus dilakukan agar ia mampu melaksanakan perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang sudah beralih menjadi kebutuhan pribadi dan bukan kebutuhan yang bersifat eksternal. Dalam upaya ini harus diciptakan kesempatan bagi individu untuk memecahkan masalah berkaitan dengan adopsi tingkah laku dalam kondisi nyata. Penelitian yang dilakukan oleh Bernadette N. Setiadi (1987), Yaumil A. Achir (1990), Iman Santoso Sukardi (1991) dan Soesmaliyah Soewondo (1991) membuktikan bahwa usaha merubah tingkah laku manusia dapat dilakukan melalui intervensi terencana perubahan tingkah laku.
Dengan mengembangkan teori serta intervensi dalam pola asuh yang khas Indonesia, pengalaman daur belajar Kolb dan intervensi perubahan tingkah laku Mc Clelland yang diadaptasikan ke Indonesia serta pengembangan intervensi lain dalam keterampilan hubungan antar manusia, membuktikan bahwa psikologi mampu berbuat sesuatu dalam rangka menyongsong era globalisasi. Yang diperlukan adalah intervensi terencana yang menekankan analisis kebutuhan individu dan masyarakat, pengembangan iklim belajar partisipatif, penciptaan dukungan kelompok serta pemanfaatan seluruh sumber sebagai sarana belajar. Dalam rekayasa terencana perlu dilihat, mana nilai-nilai tradisional yang masih bisa dipertahankan dan dikembangkan, mana pula yang harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai, bahkan bisa menghambat.
Dalam rangka globalisasi ternyata manusia Indonesia mengalami perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan serta pergeseran prioritas dalam tata nilainya. Kesemuanya tampil dalam perilakunya yang egosentris, instrumental, jalan pintas, etos kerja yag lemah dan kurang peka terhadap masalah yang tidak menyangkut kepentingannya. Padahal era abad 21 memerlukan manusia Indonesia yang tangguh, yang harus menampilkan tingkah laku yang diwarnai dengan etos kerja, prestatif, religius, peka terhadap lingkungan, inovatif dan mandiri. Pertanyaannya adalah, sejauh mana manusia Indonesia bisa dibantu untuk menemukan jati dirinya dan mampu beradaptasi terhadap tarikan dan pengaruh globalisasi masyarakat dunia. Selain itu perlu dicermati pula, berapa banyak yang ‘masih tersisa’ saat ini untuk bisa diajak memasuki abad 21 secara produktif? Berapa bagian dan seberapa luas kerusakan yang sudah terjadi? Di lapisan mana kerusakan itu terjadi dan di tingkat mana yang masih menjanjikan harapan untuk pembentukan perilaku yang adaptif dalam memasuki abad 21?


PENGEMBANGAN POLA PERILAKU MANUSIA INDONESIA YANG BERKUALITAS TINGGI DALAM MASYARAKAT ABAD 21

Sebagaimana telah diuraikan di atas, ada dua kemungkinan pembentukan pola perilaku manusia Indonesia dalam memasuki abad 21, yang diwarnai oleh latar belakang sejarah bangsa dan negara selama ini, yaitu:
a.         menjadi bangsa yang memiliki self efficacy
b.         menjadi bangsa yang mengalami learned helplessness
Era Reformasi membukakan kenyataan, betapa banyak unsur penting lainnya dalam upaya pengembangan Manusia Indonesia yang seolah terlupakan dalam membangun bangsa dan negara dalam masa Orde Baru, yang antara lain menjadi penyebab munculnya perilaku yang mengarah kepada perbuatan Korupsi, Kolusi, Koncoisme, Nepotisme (KKKN). Kesadaran tersebut lalu mendorong keinginan untuk membenahi perilaku Manusia Indonesia dari sikap yang cenderung KKKN menjadi perilaku yang Bersih, Transparan, Profesional. Keinginan untuk memunculkan Manusia Indonesia yang bersih, transparan, dan profesional dalam menjalani kehidupannya sangat diperlukan, apapun yang dilakukannya, di manapun posisinya. Kehidupan Abad 21 menyiratkan tantangan yang lebih luas dalam berkompetisi di era globalisasi. Pengembangan perilaku bersih, transparan, dan profesional menjadi persyaratan bagi Manusia Indonesia agar bisa berkualitas tinggi dan mampu mengambil posisi dalam persaingan di kancah dunia dan memanfaatkannya dengan baik. Sebaliknya, perilaku yang mencerminkan KKKN harus ditinggalkan.
Peristiwa di Bulan Mei 1998 dan hari-hari berikutnya telah menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kualitas Manusia Indonesia. Ada masalah budaya, ada masalah sosial, ada masalah agama yang secara psikologis menjadi dasar pengembangan sikap dan perilaku, selain masalah ekonomi dan harapan untuk bisa mengambil posisi dalam mengantisipasi globalisasi dan perkembangan teknologi. Pemahaman diri sebagai Manusia Indonesia perlu dimiliki agar dapat menempatkan diri dan mengembangkan hubungan dengan lingkungan, baik dalam skala kecil maupun percaturan yang lebih luas. Negara dan bangsa memerlukan Manusia Indonesia yang mencerminkan pandangan, sikap, dan perilaku warga Republik Indonesia (siapapun dia, dari kelompok mana pun - etnik, kelas sosial, agama, pendidikan, kemampuan ekonomi). Era globalisasi yang semakin terasa denyutnya memerlukan penampilan Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, sehingga dapat mengikuti perkembangan dunia, yang selanjutnya akan dapat menghasilkan peran serta aktif di berbagai bidang (pertanian, perdagangan, perindustrian, teknologi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya).
Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan latar belakang berbagai periode yang telah dijalaninya memerlukan kajian lintas disiplin ilmu agar bisa dirumuskan secara jelas dan tegas. Dalam kaitan ini sangat disadari bahwa kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam memunculkannya sekaligus mensyaratkan adanya dialog/komunikasi yang bersifat saling isi dan melengkapi antar berbagai ilmu yang terkait, sesuai dengan kondisi dan situasinya. Forum Organisasi Profesi Ilmiah Indonesia (FOPI) yang beranggotakan berbagai Organisasi Profesi Ilmiah (OPI) diharapkan secara ilmiah mampu merumuskan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi sehingga arah pembangunan bangsa dan negara pun bisa ditata lebih baik. Untuk itu perlu dicarikan upaya agar dapat memberdayakan Manusia Indonesia dengan meningkatkan kualitas ketangguhan dan kemandirian dengan tetap peduli lingkungan (alam, sosial, budaya) sehingga lebih mampu menyikapi berbagai perubahan kondisi dan situasi. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat memunculkan karakteristik Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, yang menggambarkan manusia dan budayanya (akhlak, moral, budi pekerti) serta kaitannya dengan kehidupan lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi, sosial, alam). Gambaran tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang harus dihadapi masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan berbagai alternatif upaya yang perlu dan harus dilakukan agar Manusia Indonesia bisa menerima dan memahami dirinya serta mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi lingkungan pada jamannya.
John J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa abad 21 menyiratkan ketidakjelasan terhadap ukuran keberhasilan yang bisa dijadikan keteladanan. Sukar sekali menutupi kejadian yang tak ingin disebarluaskan, baik untuk pertimbangan menghormati hak asasi manusia maupun kecanggihan teknologi komunikasi. Banyak masalah yang masih harus dijawab dalam memasuki abad 21, antara lain merumuskan makna kehidupan, pemecahan sengketa/konflik antar bangsa/negara, pengentasan kemiskinan yang tidak hanya terkait dengan masalah populasi (pertambahan penduduk) dalam hubungannya dengan ketersediaan sumber daya alam yang makin terbatas. Abad 21 mengisaratkan perlunya wawasan pikir yang lebih luas, imajinasi, rasa kasihan atau simpati, dan keteguhan hati. Pemahaman yang luas terhadap kehidupan bersama akan menjadi dasar yang kuat bagi upaya membantu manusia memasuki abad 21 dengan sikap optimis.
Ada lima cara yang dikemukakan Macionis dalam pembentukan perilaku yang mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu:
a.         teori Id, Ego, Superego dari Sigmund Freud (1856-1939)
b.         teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980)
c.         teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981)
d.         teori Gender dari Carol Gilligan (1982)
e.         teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931)
Jalur yang bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan kemampuan sosialisasi adalah:
a.         keluarga
b.         sekolah
c.         kelompok sebaya
d.         media massa
e.         opini publik
Sedangkan proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia.
Harapan untuk dapat membantu masyarakat dalam mewujudkan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi bisa mengacu pada kerangka pikir tersebut (untuk pemahaman, proses dan pembentukan perilaku dalam upaya sosialisasi), terutama dalam upaya membentuk manusia yang cerdas, terampil, tangguh, mandiri, berdaya saing tinggi tapi juga punya hati nurani, yang membuatnya peduli dan tidak individualis. Untuk itu perlu dipahami dulu kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg, masyarakat Indonesia terbagi dalam tiga kelompok moralitas. Kelompok pertama menyandarkan perilakunya pada pengertian benar dan salah, baik dan buruk berdasarkan reaksi yang diterimanya dari lingkungan. Bagi kelompok ini, keputusan benar salah, baik buruk harus bisa dipahami secara nyata, bukan sesuatu yang bersifat abstrak. Bentuk hukuman dan pujian/penghargaan harus dipahami sesuai dengan tingkat kemampuan mereka, antara lain taraf kecerdasannya. Penempatan patung-patung polisi lalu lintas di berbagai kota (Bogor, pinggiran kota Bandung, Surabaya, Padang) adalah contoh pemahaman "hitam putih" dalam usaha pengawasan perilaku. Kehadiran polisi secara fisik (terlihat) menjadi penting daripada hanya sekadar penempatan rambu-rambu lalu lintas. Kelompok ini lebih terfokus pada pikiran dan pertimbangannya sendiri, menggunakan ukurannya sendiri dan tidak terlalu mampu mempertimbangkannya dalam perspektif yang lebih luas. Kelompok kedua sudah lebih luas pandangannya, sehingga pemahaman terhadap norma dalam kehidupan bersama, yang mengacu pada kehidupan bersama, bisa diharapkan. Kepedulian dan kebutuhan mendapatkan predikat sebagai warga masyarakat yang baik sudah dimiliki. Kelompok ketiga memiliki tingkat pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi mengenai perlunya norma dalam kehidupan bersama agar dapat mencapai rasa aman dan nyaman. Pengelompokan tersebut seharusnya dijadikan patokan dalam mengembangkan aturan berikut sanksinya. Meskipun secara umum tetap bersumber pada acuan hukum yang sama, tetapi dalam penyampaian informasi dan terapannya sangat perlu memperhatikan kondisi psikologis masing-masing kelompok, sehingga bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik.
Bagi masyarakat Indonesia yang secara mayoritas mencerminkan pola patrilineal, adanya figur yang bisa dijadikan pegangan menjadi sangat penting. Figur tersebut harus dapat mencerminkan tokoh yang dikagumi dan bisa dipercaya, yang antara lain bisa dilihat dari sikap dan perilakunya dalam kehidupan keseharian sebagai pribadi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Perasaan diperlakukan secara adil, yang antara lain merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, menjadi syarat utama bagi tumbuhnya kepercayaan kepada pimpinan negara dan aparat penegak hukum. Segala bentuk kekecualian akan mengurangi bobot aturan yang ditetapkan. Apalagi kalau figur yang seharusnya menjadi panutan ternyata menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama. Bentuk masyarakat Indonesia yang sangat heterogen juga harus diperhatikan. Sejalan dengan hal tersebut maka penyusunan undang-undang dan peraturan penjelasan serta kelengkapannya harus disampaikan dalam bentuk komunikasi yang efektif, sesuai karakteristik masing-masing kelompok.
Untuk bisa menjaga agar perilaku masyarakat tetap produktif dalam upaya menegakkan kewibawaan pemerintah, ketertiban dan ketenteraman bersama, masyarakat yang seolah baru terbangun dan mulai sadar atas hak-haknya sebagai individu maupun sebagai warga negara, yang kemudian memunculkan berbagai bentuk perilaku ‘terkejut’ harus segera diarahkan dan dibimbing, sehingga reformasi bisa tetap sesuai dengan jiwanya ketika diperjuangkan oleh mahasiswa. Perilaku beberapa pihak yang saling tunjuk, saling menghujat, saling menghakimi tanpa mengindahkan prosedur hukum/aturan/tatanan yang berlaku perlu segera diatasi, sebelum menyesatkan masyarakat dalam pengembangan pola pikir dan tindakan yang jauh dari kehidupan sadar hukum.
Pemulihan kepercayaan masyarakat tidak hanya diperlukan untuk mengembalikan kondisi dalam negeri, tetapi juga bagi dunia internasional dalam menentukan sikap dan kebijaksanaan politik maupun ekonomi terhadap Indonesia. Beban psikologis ini amat berat. Persoalannya adalah seberapa jauh pemerintah dan seluruh jajarannya menyadari hal ini? Apakah masyarakat juga bisa melihat persoalan ini dalam skala pikir yang lebih luas dari hanya sekadar memikirkan kepentingannya sendiri? Dapatkah mereka melihat dirinya sebagai bagian dari kepentingan bersama, selaku anggota masyarakat dan warga negara? Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menyelesaikan persoalan ini sebagai kepentingan yang tak bisa ditawar untuk dapat mempertahankan keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara. Untuk itu sangat perlu dimasyarakatkan secara luas dan terbuka mengenai kondisi dan situasi yang dihadapi bersama agar pemerintah dan masyarakat bisa bahu membahu dalam upaya penyelesaiannya, yang tentunya harus sangat memperhitungkan karakter masing-masing kelompok, sehingga bentuk dan jalur penyampaiannya bisa disesuaikan dan kemudian bisa dipahami sebagaimana mestinya.
Hal lain yang memerlukan perhatian pemerintah untuk dapat memulihkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah adalah koordinasi yang baik antara seluruh aparat/jajaran pemerintah. Pernyataan dan tindakan yang terkesan kontradiktif antar departemen harus dihindarkan. Sebelum memberikan pernyataan, baik sebagai tanggapan maupun rumusan kebijaksanaan, seyogianya sudah ada pemahaman dan kesepakatan di antara para anggota kabinet dan aparat/jajaran di bawahnya yang terkait. Dengan demikian masyarakat tidak seperti penonton yang kebingungan, sebab tidak ada yang bisa dijadikan pegangan secara jelas, yang akibatnya memunculkan perilaku yang dikembangkan atas interpretasi sendiri. Kondisi ini dapat memunculkan situasi yang rawan bagi kehidupan bersama, sebab tak ada acuan yang jelas dan tak ada kepastian yang bisa dipercaya untuk dijadikan pedoman.
Transparansi atau keterbukaan dalam menjalankan pemerintahan masih perlu dilakukan secara selektif, sesuai karakter masyarakat yang dihadapi supaya tidak berubah menjadi bentuk perilaku yang seenaknya menuntut dan menghujat orang/pihak lain, sedangkan di sisi lain menepuk dada atau menganggap diri paling benar dan bersih. Kehidupan demokrasi yang sesungguhnya harus dijabarkan secara operasional di tiap tingkatan kemampuan masyarakat dalam memahaminya, sesuai karakter kelompok-kelompok yang ada. Pendekatan persuasif dan tidak sekadar responsif sangat diperlukan, yang bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan masyarakat dalam hal kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, yang menyiratkan rasa kebersamaan, bahu membahu, saling isi, saling melengkapi. Tatanan kehidupan menurut adat dan agama harus jelas posisinya dalam tatanan hukum negara, sehingga aspirasi dan kebutuhan masyarakat bisa tertampung dengan baik dan tidak menimbulkan gejolak yang merugikan kehidupan bersama. Aturan yang meliputi seluruh kehidupan, antara lain dalam ketentuan mengenai tanah adat, kehidupan beragama, kehidupan masyarakat yang berlandaskan bhinneka tunggal ika, kesempatan memperoleh pendidikan/pekerjaan, kenyamanan dan jaminan keamanan dalam bekerja, corak kehidupan perkawinan/keluarga sesuai kondisi jaman perlu ditelaah untuk bisa memenuhi aspirasi masyarakat.

PENUTUP

Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya mengacu pada upaya pengembangan kelima aspek tersebut secara harmonis dan seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat, cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak. Dengan demikian meskipun ia berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar kehidupan tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan hanyut terbawa arus kehidupan global. Justru ia akan dapat memilih dan memutuskan yang terbaik untuk diri, bangsa dan negaranya, baik untuk keperluan jangka pendek maupun jangka panjang. Penegakan hukum dan contoh yang diperlukan sebagai model pembentukan perilaku, baik yang ditunjukkan orang tua maupun masyarakat, menjadi penting.
Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini sangat diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara ketika republik ini didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga kesatuan dan persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan diri sebagai individu dan kelebihan bekerja sama akan dapat menghindarkan suasana yang saling tuding, saling hujat, saling mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa dan adu kekuatan seperti yang tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan bangsa dan negara, memunculkan ancaman perpecahan, perilaku tersebut tidak akan menempatkan individu dalam proses belajar memahami dan mentaati hukum. Padahal, era globalisasi di abad 21 akan menghadapkan manusia Indonesia pada hukum dan tatanan kehidupan bersama yang lebih luas, tidak hanya dalam batas wilayah Republik Indonesia. Perilaku sadar hukum adalah sebagian dari persyaratan yang diajukan abad 21. Siapkah kita membentuknya? Tahukah kita cara membentuknya? Jawaban pertanyaan ini akan menentukan corak individu yang menandai masyarakat Indonesia abad 21, apakah kita akan menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami "learned helplessness" seharusnya pemerintah dan masyarakat mampu menumbuhkan motivasi berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for achievement (Mc Clelland). Menurut teori Maslow, manusia Indonesia harus didorong sampai pengembangan motivasi untuk mampu mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada motivasi pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar saja.
Dalam kaitan dengan pembangunan selanjutnya, ada pertanyaan yang masih harus dijawab, terutama mengacu pada pengalaman kita selama ini, akankah kita masih terkotak-kotak dalam menyelenggarakan pembangunan? Dapatkah kita menempatkan manusia sebagai individu dengan segala keunikannya sehingga tidak memperlakukannya sebagai obyek semata? Atau kita masih tetap beranggapan bahwa masyarakat yang terdiri dari kumpulan individu adalah sekadar obyek, yang bisa diatasi dengan "dua K" yaitu kekuatan dan kekuasaan. Kalau jawabannya "Ya," maka cita-cita untuk mewujudkan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi barangkali cuma angan-angan, seperti membangun rumah di atas angin. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar